Rindu Rimpang
Di Kerajaan Sayur-sayuran, rimpang-rimpang tua punya sejarah panjang. Mereka adalah penopang, akar-akar yang menyimpan cerita di dalam tanah, menjaga kehidupan. Di bawah bayang-bayang mentari yang menggigit, di tanah yang lembap, mereka tumbuh dan saling berpelukan dengan akar-akar yang lain, saling berbagi kekuatan.
Sejak dulu, Jahe dan Kunyit selalu bersama. Dari sejak kecambah pertama menyentuh tanah, hingga kini mereka menjadi rimpang yang besar dan kokoh, mereka tak terpisahkan.
Namun, ada yang berubah.
Di bawah hamparan hijau, Kunyit mulai menjauh. Ia tak lagi tumbuh dekat, tak lagi mendekatkan akar-akar mereka seperti dulu. Kunyit punya teman-teman baru sekarang—Lada Hitam, Temulawak, bahkan Sereh yang selama ini selalu tampak angkuh. Mereka semua saling berdekatan, berbisik-bisik di bawah tanah, tertawa dalam diam.
Jahe hanya bisa mendengar dari jauh, dalam keheningan yang semakin menghimpit dadanya.
Kunyit, rimpang yang penuh warna, mulai berubah sikap. Warnanya yang kuning cemerlang membuatnya disukai banyak pihak. Dapur-dapur mulai menuntut kehadirannya, mengangkatnya ke meja-meja makan, menaburkan serbuknya ke dalam minuman-minuman modern, menjadikannya bagian dari kehidupan yang lebih cepat, lebih gemerlap. Orang-orang menyebutnya "superfood," mengagungkan manfaat kesehatannya.
Kunyit semakin dibutuhkan, semakin dicari. Teman-teman barunya, sesama rempah-rempah dengan nama besar, membuatnya merasa seperti seorang bangsawan.
Tapi di tanah yang sama, di bawah pohon tomat yang lebat, Jahe hanya terdiam. Ia menunduk, merasakan dinginnya tanah, kakinya yang sudah lelah berakar di tempat yang sama.
“Apakah aku tidak cukup lagi?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Bukankah kita selalu bersama? Mengapa kini kau menjauh?”
Jahe ingat masa-masa mereka tumbuh bersama. Kala hujan menyentuh permukaan tanah, mereka akan menyerap tetesan air bersama-sama, menegakkan batang-batang mereka yang halus. Mereka sering mendengar bisikan angin yang menerbangkan daun-daun kering, berbicara tentang dunia di luar tanah, dunia yang penuh misteri dan kekaguman. “Kita adalah kekuatan, kita adalah hidup,” begitu sering mereka katakan.
Namun kini, Kunyit sudah bukan lagi bagian dari kenangan itu.
Di tengah kesibukannya dengan teman-teman baru, Kunyit lupa. Lupa pada akar yang dulu saling bertaut, pada keheningan yang dulu mereka nikmati bersama, saat hanya ada mereka berdua di tengah kehidupan bawah tanah yang sunyi. Kunyit selalu sibuk sekarang, sibuk dipanggil oleh dunia di atas permukaan tanah yang menuntut kehadirannya.
Malam itu, ketika bumi menghela nafasnya yang tenang, Jahe merasa lebih sendiri dari biasanya. Angin yang biasa membawa pesan dari dunia luar kini hanya membawa kesunyian yang semakin pekat. Teman-teman yang dulu menemaninya kini hanya menjadi bayangan yang jauh. Kunyit semakin lama semakin jauh, tenggelam dalam dunia yang berbeda.
Jahe merasakan getaran halus di bawah tanah. Kunyit tengah berbicara dengan Sereh, tertawa pelan. Ada percakapan yang tak bisa dimengerti Jahe lagi, percakapan tentang perayaan-perayaan baru, tentang kelezatan hidangan yang eksotis dan kaya bumbu. Dunia Kunyit kini penuh dengan warna, penuh dengan kebahagiaan yang tak lagi menyisakan tempat untuknya.
“Apakah aku terlalu pahit?” pikir Jahe, hatinya pedih.
“Apakah aku terlalu kasar untuk mereka? Kunyit... kenapa kau tak lagi memilihku untuk berbagi cerita?”
Tetapi, seperti rimpang yang baik, Jahe tetap diam.
Ia tahu, meskipun sakit, Kunyit kini telah memilih jalannya sendiri. Jalur itu penuh warna, penuh kegembiraan yang Jahe tak bisa sentuh. Dan dalam keheningan yang menyiksa itu, Jahe tetap berada di tempatnya. Mengakar kuat.
Membiarkan rasa sakitnya mengalir, membiarkan kenangan-kenangan itu perlahan berubah menjadi bagian dari dirinya, tanpa pernah mengatakannya pada Kunyit.
Esoknya, saat sinar matahari pagi meresap ke dalam tanah, Jahe menatap teman lamanya dari kejauhan. Kunyit masih tertawa, dikelilingi teman-teman barunya. Jahe tersenyum kecil. Mungkin ini caranya untuk tetap hidup—menerima bahwa tak semua yang tumbuh bersama, akan selalu tetap bersama.
Di Kerajaan Sayur-sayuran, ada aturan tak tertulis.
Setiap rimpang, meski saling terkait, harus menerima nasibnya sendiri. Dan Jahe tahu, meski hatinya patah, ia akan tetap tumbuh. Dalam kesendirian yang tak pernah ia minta, dalam kesetiaan yang tak pernah terucapkan.
Comments
Post a Comment